Cinta Putih dari Seorang Anak

cinta putih anak

Lentera Inspirasi: Kisah kecil dalam keseharian seringkali menyimpan keindahan yang luar biasa. Di balik rutinitas sehari-hari, terkadang tersembunyi kekuatan besar yang mampu menginspirasi dan mengajarkan makna cinta sejati. Sebuah kisah yang mungkin tak terduga, tentang kehadiran dan cinta putih yang tulus dari seorang anak kepada orang tua.

Mari kita jelajahi kisah penuh inspirasi ini, yang mengajarkan kita tentang pentingnya hadir dalam momen-momen penting dalam kehidupan keluarga, tentang cinta yang tak terbatas, dan tentang makna sejati dari kehadiran yang tulus dalam hubungan orang tua dan anak. Artikel cerita inspiratif ini akan membawa kita pada perjalanan yang memukau, menggambarkan kebesaran hati dan kesetiaan anak-anak yang membawa pelajaran berharga tentang arti sejati dari cinta putih.

Cinta Putih dari Seorang Anak

“Ini siapa yang makan kue tidak dihabiskan?” tanyaku kepada isteriku di malam itu. Di meja makan, terdapat sepotong kue yang tak habis termakan. “Itu potongan untuk Abang. Anak-anak dapat kue dari tetangga siang tadi, tapi mereka ingin membaginya untuk ayah,” jelas isteriku. “Ini Adi, ini buat dede Aisyah, ini Ibu, dan ini buat Ayah,” begitu katanya setelah memotong empat bagian kue itu.

Anak-anak sudah tidur, semoga dalam mimpinya mereka melihat aku menikmati kue yang sengaja disisakannya. Saya selalu ingat setiap kali anak-anak mendapatkan kue atau makanan enak lainnya, mereka tak lupa menelepon aku di kantor untuk sekadar memberitahu kalau aku tak perlu khawatir, karena mereka akan menyisihkannya untukku.

Pagi hari, pertanyaan pertama anak-anak adalah, “Kuenya dimakan nggak, Yah?”

Aku pernah diprotes isteri karena pulang terlambat. Padahal sebelumnya aku sudah berjanji untuk mengajak mereka jalan-jalan ke Mall. Setiap akhir bulan, anak-anak sudah hafal betul jadwal belanja bulanan kami. Meski masih terlalu kecil, mudah bagi mereka menandakan waktunya belanja bulanan. Jika persediaan susu mereka sudah menipis, itulah waktunya belanja.

Aku menjanjikan akhir pekan ini akan mengajak mereka berbelanja, itu yang membuat mereka rela menahan kantuk tidak tidur siang karena takut ditinggal. Walaupun waktu belanja kami biasanya sesudah maghrib, sejak jam 16.00 anak-anak itu sudah cantik dengan baju pilihan mereka sendiri. Tapi, hari itu aku membuatnya kecewa. Pukul 21.15 malam aku baru tiba di rumah dan mendapati kedua anakku terlelap di sofa masih lengkap dengan baju bagus, sepatu dan jilbab yang tak lepas.

Pagi hari, mereka tak marah. “Hari ini kerja nggak? pulangnya jangan malam-malam ya, kan sudah janji mau ke Mall,” Aku tak berani berjanji, tapi akan menepatinya. Sungguh.

“Bu, nanti kalau ayah pulang bangunin ya,” pesan anak pertamaku yang ingin membanggakan lima bintang yang diterimanya hari ini untuk pelajaran melukis di sekolah. Cerita isteriku, sejak pulang sekolah kertas hasil lukisannya itu selalu dibawa-bawa dan tak boleh disentuh siapapun. Tak satu pun yang boleh melihatnya sebelum aku melihatnya dan mengatakan, “Duuh pinternya anak ayah”.

Setelah mandi sore, tercatat sebelas kali ia bertanya jam berapa aku pulang. Selepas maghrib, entah untuk ke berapa kali ia bertanya, “Ayah kok belum pulang sih?” tentu saja dengan kertas lukisan masih di tangannya. Ia pun berjaga-jaga di sofa menunggu kepulanganku, agar apa yang aku dapatkan begitu membuka pintu adalah wajah cerianya sambil menunjukkan lima bintang di kertas lukisannya.

Yang dinanti tak kunjung tiba. Kantuk pun tak kuasa ditahannya, lima bintang pun ikut terlelap dalam dekapannya. Hari masih terlalu dini, ia sudah bangun membawa kertas lukisannya ke kamarku. Matanya masih terlihat mengantuk ketika ia menggugah, “Yah, sudah lihat gambar Adi? Dapat bintang lima nih”.

Pekerjaanku saat ini banyak menyita waktu yang semestinya merupakan waktu untuk keluarga. Tak jarang mereka protes dengan kalimat, “kerja melulu, kapan liburnya?”. Ya, aku sering merasa bersalah setiap harus pergi untuk urusan pekerjaan di hari libur. Terlebih ketika harus membatalkan acara yang sudah direncanakan jauh hari.

Cara mereka mengingatkan aku akan teramat banyak hutang kehadiran untuk mereka cukup unik, yakni dengan menyebut jumlah dongeng yang belum aku lakukan. Kalau aku pergi tiga hari, maka di malam aku menemani tidurnya, mereka akan minta aku merapel cerita jadi empat. satu jatah malam ini, tiga cerita adalah untuk hari yang terlewati tanpa dongeng.

Kalau pun aku terlalu lelah untuk empat dongeng malam itu, mereka pun tak marah. Hanya saja, “tapi besok jadi lima ya”.

Hari Minggu kemarin, aku baru pulang ke rumah pukul 20.30 malam. Siang harinya berjanji untuk pulang sore dan mengajak mereka berputar-putar dengan motor. Senja hampir tiba, mereka masih yakin akan segera pulang. Karenanya mereka menungguku sambil bersembunyi. Rupanya, mereka berniat mengejutkanku dari balik pintu. Malam sudah tiba, anak-anak masih di balik pintu, kali ini mereka tak berdiri, tapi sudah duduk. Mungkin lelah menunggu. Waktu terus berjalan, sampai mereka pun terlelap di balik pintu, tak peduli kata-kata ibunya bahwa ayah akan terlambat pulang. “Nggak, ayah bilang sebentar kok perginya,” ujar si kecil.

Terlalu sering aku membuat anak-anak kecewa. Namun tak pernah aku mendapatkan wajah cemberut mereka meski aku tak tahu lagi dengan cara apa mengucap maaf. Tanpa meminta maaf pun, ternyata mereka sudah lebih dulu memaafkan. Mestinya aku belajar mencinta seperti mereka, dan cinta punya mereka adalah cinta yang putih. Seputih hatinya.


Yuk, baca juga artikel Lentera lainnya sebagai renungan hidup:


Penutup

Kisah tentang cinta putih dari seorang anak menggambarkan kebesaran hati dan kesabaran yang luar biasa dari anak-anak dalam menerima kehadiran orang tua yang seringkali tak dapat hadir dalam momen-momen penting. Dari setiap potongan kue yang disisihkan, pertanyaan tentang kue yang tak habis dimakan, hingga kesetiaan mereka menunggu walau waktu terus berjalan, kisah ini memancarkan cinta tanpa pamrih dari anak-anak.

Sorotan juga mengungkap momen di mana anak-anak menahan kantuk dan kekecewaan mereka saat janji-janji yang diucapkan terpaksa diabaikan. Namun, dalam kesetiaan dan ketulusan mereka, tidak pernah ada rasa marah yang berlarut-larut. Mereka menyimpan kesabaran yang luar biasa, memberikan pengertian yang tak terbatas meskipun seringkali kekecewaan itu terjadi.

Saran setelah membaca kisah ini adalah mengapresiasi cinta putih yang tulus dari anak-anak. Ini mengajarkan pentingnya hadir dalam momen-momen penting dalam kehidupan keluarga. Meski pekerjaan dapat menyita waktu dan perhatian, usahakan untuk memberikan waktu yang berkualitas kepada anak-anak dan berusaha menjaga janji-janji yang diucapkan. Komunikasi yang jujur dan terbuka dengan anak-anak tentang keterbatasan waktu dan komitmen juga penting, agar mereka dapat memahami situasi dengan lebih baik.

Artikel ini menunjukkan bahwa belajar untuk mencintai tanpa pamrih dan memberikan perhatian adalah pelajaran yang dapat kita dapatkan dari anak-anak. Ini juga merupakan pengingat akan betapa pentingnya kehadiran dan kesetiaan dalam membangun hubungan yang sehat dengan keluarga.

Anda telah membaca artikel ulasan tentang "Cinta Putih dari Seorang Anak" yang telah dipublikasikan oleh Lentera Inspirasi. Semoga bermanfaat serta menambah inspirasi dan wawasan. Terima kasih.

You May Also Like

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *